About
Komunitas pecinta, penikmat, kolektor, aktivis buku dan membaca di Kota Padang yang memiliki misi terciptanya budaya baca pada generasi muda. Reading is Enjoying!
Blog Archive
Label
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
Categories
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
Popular Posts
-
GATHERING #1 BOOKS READER PADANG (26/2/2012) Minggu (11/3) Komunitas Books Reader Padang untuk kedua kalinya kembali mengadakan g...
-
BUDAYA BACA, BACA BUDAYA kid read philosophy book by Foucault. “Budaya baca adalah budayanya manusia, manusia tidak akan punya peradaban a...
-
Selamat kepada peserta Open Recruitment#3 Books Reader Padang yang telah lulus seleksi tahap 2. Selamat bergabung dengan Books Reader P...
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Label
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 09 Juni 2012
Oleh : Ade Faulina
Semoga kita bisa kembali melahirkan
pemuda-pemudi yang berkarakter dan percaya diri. Sebuah generasi yang rindu
akan bacaan dan nilai-nilai positif dari
sebuah buku. Sebagaimana pepatah: buku merupakan jendela dunia. Dengan buku
kita bisa melihat dan mengetahui segala yang ada di semesta. Buku adalah kunci
untuk “membuka” dan mengungkap apapun yang ingin kita ketahui.*
Barangkali
belum banyak yang tahu jika hari buku diperingati setiap tanggal 23 April.
Sebuah perayaan yang menandai bahwa buku sebagai jendela dunia perlu
mendapatkan tempat di pikiran dan hati setiap orang. Peringatan hari buku
tentunya berbeda dengan perayaan hari-hari “besar” (penting) lainnya. Cara memperingatinya
juga berbeda. Tidak ada hingar bingar maupun euforia layaknya peringatan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan
Republik Indonesia, tanah tumpah darah kita. Seperti upacara di Istana
Kepresidenan, beragam perlombaan, program-program hiburan di televisi, pesta
kembang api hingga ramainya publikasi seputar hari kemerdekaan dan para
pahlawannya menjadi penanda bahwa negeri ini sedang merayakan hari jadinya.
Jika
perayaan hari kemerdekaan dirayakan dengan gegap gempita maka hal berbeda akan
kita temui pada peringatan hari buku. Sebuah peringatan yang sunyi. Karena
tidak ada perayaan hingar bingar di hari buku. Buku yang seperti kita tahu
merupakan bagian penting dari sebuah peradaban. Jika ingin menguasai dunia kita
perlu berkarib dengan buku. Buku menjadi syarat utama dalam pembangunan sebuah
bangsa. Kejayaan peradaban sebuah negeri hanya akan menjadi mimpi bila generasi
yang notabene merupakan subjek pembentuk peradaban jauh dari buku. Indonesia
mungkin saja tidak akan ada dan menjadi bagian dari dunia jika para generasi
(muda) terdahulu tidak dekat dengan buku. Nama-nama seperti Soekarno, Muhammad
Hatta, M.Yamin, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan lainnya merupakan
tokoh-tokoh penting yang “kutu buku”. Mereka tidak saja membaca buku-buku
pelajaran di bangku sekolah. Namun menjadikan buku layaknya kebutuhan primer
yang dilakukan setiap waktu. Seperti kebutuhan makan, minum dan tidur. Buku
apapun akan mereka “lahap”.
Generasi (Muda) yang
Terabai
Mengapa
buku menjadi penting? Sebuah pertanyaan yang menjadi konyol di tengah hiruk pikuk kemajuan bangsa-bangsa asing
saat ini. Kita pun telah lama menyadari bahwa tanpa buku sebuah bangsa akan
menjadi terbelakang. Buku memberikan banyak manfaat dalam menjalani kehidupan
di muka bumi. Diantaranya menambah pengetahuan, mengenal berbagai hal,
memberikan motivasi, mengajarkan nilai-nilai kehidupan, membentuk karakter
bangsa, hingga menjadi jalan bagi
seseorang insan yang kreatif dan optimis dalam meraih apa yang
dicita-citakannya (impian).
Buku
merupakan sesuatu yang sangat penting. Baik itu buat diri sendiri dan orang
lain. Apa yang kita ketahui dari sebuah bacaan akan bermanfaat jika kita
sampaikan kepada orang lain. Dengan buku kita pun dapat saling menjaga. Menjaga
untuk tidak terjebak dalam sifat atau sikap yang dapat membawa kehancuran.
Seperti yang sedang berlangsung di tanah air kini. Tanpa buku kita menjadi
terjebak ke dalam sifat dan sikap yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi
juga orang lain. Seperti tamak, penakut, bermental penjahat, kebal terhadap
kritik dan memiliki sifat malas dalam melakukan sesuatu dan juga menjadi sebuah
bangsa yang pesimis dalam menghadapi hari esok. Semua sifat dan sikap di atas
selama beberapa dekade terakhir terus menjadi penyakit menular yang hinggap di
diri setiap orang. Jika kita terus melakukan hal demikian maka kehancuran akan
mendekat dalam kehidupan kita.
Buku
perlu “diperkenalkan” kembali kepada penerus bangsa ini, yaitu generasi muda.
Generasi yang merupakan cikal bakal eksistensi bangsa. Kita membutuhkan Bung
Karno atau Bung Hatta muda yang bisa berpikir jernih, produktif berkarya dan
menularkan semangat pembaharuan dan pembangunan yang terencana dan terkonsep
secara baik, jelas dan rapi. Sebuah bangsa akan menjadi tangguh jika tiap
elemen di dalamnya tahu apa yang mereka mau. Dan rela bersusah payah untuk
meraih cita-cita. Serta memiliki daya imajinasi dan kreativitas yang dapat
memakmurkan diri dan bangsa. Tidak mengherankan lagi jika generasi muda
merupakan titik tolak untuk kembali membangun peradaban yang disegani.
Pemuda-pemudi
yang selama ini “terabaikan” akan menjadi kekuatan apabila mereka diberi
“suplemen” berupa buku-buku bermutu. Bukan hanya sekedar buku pelajaran yang
telah ditetapkan dalam kurikulum di sekolah atau kampus. Tapi generasi muda
harus dekat dengan buku bacaan apapun. Baik itu suratkabar, novel, roman,
majalah dan jenis buku lainnya. Dan itu pun tidak terbatas pada penulis, tema
maupun isi tertentu yang disampaikan atau dikarang oleh seorang penulis. Bila
mungkin, sedari dini kita hendaknya memberikan generasi muda apa yang mereka
perlukan untuk menjadi representasi sebuah negeri yang di masa lampau berdiri
gagah di hadapan dunia. Bukan bangsa kerdil yang penakut dan bermental
“kerupuk” seperti yang menggeroti bangsa ini dalam tahun-tahun terakhir.
(Penulis merupakan Alumni IAIN Imam Bonjol
Padang dan saat ini bergiat di Komunitas Books Reader Padang).
Label:
artikel
|
0
komentar
Jumat, 13 Januari 2012
Komunitas Sosial Media (Sosmed) Sumatera Barat untuk ke-3 kalinya kembali mengadakan gathering dengan komunitas-komunitas yang eksis dalam jejaring sosial twitter, Rabu (11/2). Gathering yang dilaksanakan di Tiji Cafe ini dihadiri sekitar sepuluh komunitas. Seperti: Books Reader Padang, Akamaru J. Community, StandUp Indo Padang, AIESEC, AIS, Blogger Palanta, Padang Berkebun, Koma Images, Info Sumbar dan tentu saja komunitas Sosmed sebagai penyelenggara.
Gathering yang dimulai pukul 16.00 WIB ini merupakan lanjutan dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Selain membahas dan menyepakati tentang visi-misi Komunitas Sosial Media, rancangan pembentukan kepengurusan juga dibicarakan tentang persiapan kegiatan Festival Sosial Media yang menjadi agenda besar komunitas pada April mendatang. Berbagai usulan yang diberikan oleh peserta pertemuan yang terdiri dari mahasiswa, pelajar dan lulusan perguruan tinggi yang ada di Kota Padang tersebut mendapat tanggapan yang positif dari koordinator komunitas yang awalnya merupakan komunitas/UKM yang berada di tingkat kampus.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Annisa, Koordinator Komunitas Sosial Media kegiatan tersebut nantinya akan melibatkan semua komunitas yang ada di Kota Padang khususnya dan Sumatera Barat umumnya. “Kita butuh konstribusi dan kesungguhan dari teman-teman komunitas untuk menyukseskan Festival Sosial Media Sumbar. Agar keberadaan komunitas tidak hanya sebagai ajang untuk eksis di dunia maya. Tapi juga dapat membantu pemerintah dan masyarakat melalui visi-misi yang dimiliki oleh masing-masing komunitas,” urainya pula. Sedangkan untuk teknis dan detail kegiatan akan dibicarakan dalam gathering selanjutnya. *** (Books Reader Padang)
Label:
artikel,
gathering,
Information
|
4
komentar
Rabu, 04 Januari 2012
BUDAYA BACA, BACA BUDAYA
kid read philosophy book by Foucault.
“Budaya baca adalah budayanya manusia, manusia tidak akan punya peradaban apabila tidak membaca. Bahkan Islam pun mengajarkan kata pertamanya yaitu “Iqra” (bacalah).
Pada saat sekarang keseharian proses intelektual manusia tidak lepas dari proses membaca. Membaca sebagai sebuah aktivitas mencerminkan bagaimana seorang individu mau berkembang dan melihat cakrawala ilmu dengan lebih luas lagi. Membaca yang dalam konteks keingintahuan adalah sebuah hal sangat mulia untuk dilakukan. Maka tidak heran apabila setiap orang mengatakan bacalah selagi kau masih ada.
Memang untuk ukuran Negara Indonesia, minat baca sangat rendah sekali. Membaca bukanlah sebuah kultur, bukanlah sebuah kegiatan yang normal selagi menunggu orang kita membaca, selagi duduk di bus kota kita membaca, selagi punya waktu luang dimana saja kita membaca. Bukan, orang Indonesia faktanya bukan seperti itu. Masih ingatkah kita bahwa masih ada beberapa suku di Indonesia untuk mengharamkan pendidikan termasuk membaca. Realita seperti itu membuat semuanya menjadi masuk akal, sejak masa penjajahan dulupun kita baru disediakan buku-buku bacaan faktanya baru akhir abad ke-19. Jadi, jangankan membaca buku, untuk surat kabar pun rata-rata orang Indonesia membaca satu koran dibaca oleh lima puluh orang rata-rata.
Memang untuk ukuran Negara Indonesia, minat baca sangat rendah sekali. Membaca bukanlah sebuah kultur, bukanlah sebuah kegiatan yang normal selagi menunggu orang kita membaca, selagi duduk di bus kota kita membaca, selagi punya waktu luang dimana saja kita membaca. Bukan, orang Indonesia faktanya bukan seperti itu. Masih ingatkah kita bahwa masih ada beberapa suku di Indonesia untuk mengharamkan pendidikan termasuk membaca. Realita seperti itu membuat semuanya menjadi masuk akal, sejak masa penjajahan dulupun kita baru disediakan buku-buku bacaan faktanya baru akhir abad ke-19. Jadi, jangankan membaca buku, untuk surat kabar pun rata-rata orang Indonesia membaca satu koran dibaca oleh lima puluh orang rata-rata.
Maka dari itu, pemerintah memang telah lama tanggap terhadap semua fenomena ini, karena kecenderungan di Indonesia bukan orang-orang berpunya saja yang jarang membaca. Bahkan orang-orang yang berduit pun jarang sangat untuk membaca. Ironisnya kaya-miskin di Indonesia memang tidak suka membaca.
Membaca sebagai mediator berpikir kritis, bukan saja selalu di identikan dengan hal-hal yang “berat”, teori-teori, bahasa-bahasa ngejelimet. Tapi juga membaca buku adalah perkerjaan yang dianggap sia-sia oleh sebagian orang Indonesia. Karena sebagian orang Indonesia termasuk orang yang mengapilkasikan suatu hal secara kinetik (kerja), bukan secara audio (mendengar) maupun visual (melihat/membaca). Sehingga akibat kurang balance-nya daerah A dan B SDM nya mungkin juga disebabkan oleh pengaruh lingkungannya yang cenderung teridiri dari orang-orang kinetik. Contohnya apabila seseorang ingin membeli kipas angin, maka orang kinetik akan langsung merakitnya, sebaliknya orang visual membaca buku petunjuknya, dan orang audio akan menanyakannya pada pedagang tadi perihal cara merakitnya.
Dari kasus di atas membaca sebagai sebuah paradigma, perspektif, behaviour, aktivitas, teori, implementasi, apalagi kultur faktanya masih sulit di Indonesia ini. Apabila orang Indonesia telah sinkron dengan hal-hal tersebut. Sekonyong-konyong kita tentu akan mengulang sejarah – yang einmalig tentunya – terhadap peradaban Negara hinomaru Jepang. Kita tahu bahwa, hanya perlu waktu empat dekade saja sejak didatangi Mathhew C. Perry pada tanggal 8 Juli 1853. Jepang yang sebelumnya kolot dan telah terisolasi berabad-abad terhadap kemajuan dunia luar akhirnya bertransformasi menjadi sejajar dengan negara-negara seperti Italia dan mengalahkan negara-negara yang cemerlang peradabannya seperti Spanyol, Russia, Yunani dan Negara-negara barat cemerlang lainnya. Yang kuncinya ada hanya pada satu kata yang membuat Negara Jepun itu maju yaitu: membaca.
Tapi kalau bangsa Indonesia yang besar ini kalau membaca hanya dalam situasi formal saja, kita mungkin masih jauh mengejar kemajuan bangsa-bangsa yang lain. Dimana, kalau proses membaca dengan metode paksaan yang sering kita alami di sekolah-sekolah terus di prektekkan faktanya metode tersebut tidak punya efek kontinunitas yang baik, pasalanya soul kita sendiri telah didikte dengan kata-kata membaca, sebaliknya kata “membaca” telah jenuh di mata para siswa. Maka timbullah ego sendiri yang menyatakan membaca adalah proses menjemukan dan tidak punya bentuk ke-excited-annya. Membuat opini publik mengatakan membaca itu dibalas dengan pernyataan sok rajin, cari muka, di ejek kutu buku dsb. Faktanya orang hanya membaca buku yang sederhana saja tapi selalu dikonotasikan buku-buku yang yang menjatuhkan harga diri si pengejek karena cemburu, bukan murni mengejek. Sebaliknya membaca harus ditanamkan sebagai kegiatan yang akrab bentuknya bukan sebagai paksaan semata.
Maka dari sirkulasi membaca tersebut manusia telah bisa di katakan manusia yang sebenarnya apabila telah membaca, apapun genre dan bentuk buku tersebut, ilmiah, dan non-ilmiah – tentu yang positivisme. Orang-orang yang membaca yang membuat dirinya membutuhakan membaca sebagai kebutuhan primer, tak pelak lagi kita katakan sebagai orang yang berbudaya membaca dan walhasil individu itu bisa membaca budaya. Apapun budaya tersebut, karena dasar pemikirannya terobesesi pada ilmu pengetahuan yang mengakibatkan individu teresebut bisa membaca budaya, budayanya manusia.
Seorang yang telah melek sebagai reader (pembaca), tentunya telah disinggung tadi akan bisa baca budaya. Karena budaya sebagai proses pemikiran manusia bisa merefleksikan si reader tersebut untuk lebih haus lagi terhadap ilmu dan pengetahuan, lebih kritis, dan tentu efek jangka panjangnya membuat seorang reader menjadi orang yang bijak, punya keobjektifan, berjiwa besar, dan akan punya kepekaan terhadap semua hal (sense of act).
Lihatlah contoh orang-orang besar yang punya kebutuhan primer terhadap membaca: Hatta, Sjahrir, Taufik Ismail, H.A Salim, Rosihan Anwar dll. Bahkan Rosihan Anwar yang pada usia 80-an tetap memabca buku 2 buku seminggu. Contoh-contoh orang di atas yang telah mengalami sirkulasi budaya baca = baca budaya, kesemuanya telah menjadi “orang”, bahkan orang besar yang sampai pada kaliber internasional.
Tentunya Indonesia sebagai negara yang melimpah SDA nya, butuh sekali kecakapan terhadap SDM yang memadai, maka tidak lain jalan keluarnya yaitu membaca, membaca, dan membaca. Yang orientasinya yaitu membaca menjadi tahu, tahu menjadi paham, paham menjadi kontiniunitas lagi untuk kita membaca buku yang lain.
Percayalah kita kepada orang-orang besar diatas, kalau kita membaca dan menjelma menjadi seorang reader untuk negara Indonesia yang besar ini kalau kita efesienkan maka, kita akan maju sebagai negara baru lebih beradab lagi. Maka dari itu, terus dan ingatlah kata-kata remeh-temeh yang punya kekuatan makrokosmos ini dihati kita untuk dipraktekkan: “tiadalah hari tanpa membaca”.
Hendriko Firman, pernah dimuat di koran Singgalang tahun 2008.
Label:
artikel,
budaya baca
|
1 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)