About
Komunitas pecinta, penikmat, kolektor, aktivis buku dan membaca di Kota Padang yang memiliki misi terciptanya budaya baca pada generasi muda. Reading is Enjoying!
Blog Archive
Label
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
Categories
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
Popular Posts
Blogger templates
Blogger news
Blogroll
About
Diberdayakan oleh Blogger.
Label
- artikel (3)
- BRP (1)
- budaya baca (2)
- gathering (3)
- Information (5)
- lulus (1)
- News (2)
- pendaftaran (2)
- Program (4)
BUDAYA BACA, BACA BUDAYA
kid read philosophy book by Foucault.
“Budaya baca adalah budayanya manusia, manusia tidak akan punya
peradaban apabila tidak membaca. Bahkan Islam pun mengajarkan kata
pertamanya yaitu “Iqra” (bacalah).
Pada saat sekarang keseharian proses intelektual manusia tidak lepas
dari proses membaca. Membaca sebagai sebuah aktivitas mencerminkan
bagaimana seorang individu mau berkembang dan melihat cakrawala ilmu
dengan lebih luas lagi. Membaca yang dalam konteks keingintahuan adalah
sebuah hal sangat mulia untuk dilakukan. Maka tidak heran apabila
setiap orang mengatakan bacalah selagi kau masih ada.
Memang untuk ukuran Negara Indonesia, minat baca sangat rendah sekali. Membaca bukanlah sebuah kultur, bukanlah sebuah kegiatan yang normal selagi menunggu orang kita membaca, selagi duduk di bus kota kita membaca, selagi punya waktu luang dimana saja kita membaca. Bukan, orang Indonesia faktanya bukan seperti itu. Masih ingatkah kita bahwa masih ada beberapa suku di Indonesia untuk mengharamkan pendidikan termasuk membaca. Realita seperti itu membuat semuanya menjadi masuk akal, sejak masa penjajahan dulupun kita baru disediakan buku-buku bacaan faktanya baru akhir abad ke-19. Jadi, jangankan membaca buku, untuk surat kabar pun rata-rata orang Indonesia membaca satu koran dibaca oleh lima puluh orang rata-rata.
Memang untuk ukuran Negara Indonesia, minat baca sangat rendah sekali. Membaca bukanlah sebuah kultur, bukanlah sebuah kegiatan yang normal selagi menunggu orang kita membaca, selagi duduk di bus kota kita membaca, selagi punya waktu luang dimana saja kita membaca. Bukan, orang Indonesia faktanya bukan seperti itu. Masih ingatkah kita bahwa masih ada beberapa suku di Indonesia untuk mengharamkan pendidikan termasuk membaca. Realita seperti itu membuat semuanya menjadi masuk akal, sejak masa penjajahan dulupun kita baru disediakan buku-buku bacaan faktanya baru akhir abad ke-19. Jadi, jangankan membaca buku, untuk surat kabar pun rata-rata orang Indonesia membaca satu koran dibaca oleh lima puluh orang rata-rata.
Maka dari itu, pemerintah memang telah lama tanggap terhadap semua
fenomena ini, karena kecenderungan di Indonesia bukan orang-orang
berpunya saja yang jarang membaca. Bahkan orang-orang yang berduit pun
jarang sangat untuk membaca. Ironisnya kaya-miskin di Indonesia memang
tidak suka membaca.
Membaca sebagai mediator berpikir kritis, bukan saja selalu di identikan dengan hal-hal yang “berat”, teori-teori, bahasa-bahasa ngejelimet. Tapi juga membaca buku adalah perkerjaan yang dianggap sia-sia oleh sebagian orang Indonesia. Karena sebagian orang Indonesia termasuk orang yang mengapilkasikan suatu hal secara kinetik (kerja), bukan secara audio (mendengar) maupun visual (melihat/membaca). Sehingga akibat kurang balance-nya daerah A dan B SDM nya mungkin juga disebabkan oleh pengaruh lingkungannya yang cenderung teridiri dari orang-orang kinetik. Contohnya apabila seseorang ingin membeli kipas angin, maka orang kinetik akan langsung merakitnya, sebaliknya orang visual membaca buku petunjuknya, dan orang audio akan menanyakannya pada pedagang tadi perihal cara merakitnya.
Membaca sebagai mediator berpikir kritis, bukan saja selalu di identikan dengan hal-hal yang “berat”, teori-teori, bahasa-bahasa ngejelimet. Tapi juga membaca buku adalah perkerjaan yang dianggap sia-sia oleh sebagian orang Indonesia. Karena sebagian orang Indonesia termasuk orang yang mengapilkasikan suatu hal secara kinetik (kerja), bukan secara audio (mendengar) maupun visual (melihat/membaca). Sehingga akibat kurang balance-nya daerah A dan B SDM nya mungkin juga disebabkan oleh pengaruh lingkungannya yang cenderung teridiri dari orang-orang kinetik. Contohnya apabila seseorang ingin membeli kipas angin, maka orang kinetik akan langsung merakitnya, sebaliknya orang visual membaca buku petunjuknya, dan orang audio akan menanyakannya pada pedagang tadi perihal cara merakitnya.
Dari kasus di atas membaca sebagai sebuah paradigma, perspektif,
behaviour, aktivitas, teori, implementasi, apalagi kultur faktanya
masih sulit di Indonesia ini. Apabila orang Indonesia telah sinkron
dengan hal-hal tersebut. Sekonyong-konyong kita tentu akan mengulang
sejarah – yang einmalig tentunya – terhadap peradaban Negara hinomaru
Jepang. Kita tahu bahwa, hanya perlu waktu empat dekade saja sejak
didatangi Mathhew C. Perry pada tanggal 8 Juli 1853. Jepang yang
sebelumnya kolot dan telah terisolasi berabad-abad terhadap kemajuan
dunia luar akhirnya bertransformasi menjadi sejajar dengan
negara-negara seperti Italia dan mengalahkan negara-negara yang
cemerlang peradabannya seperti Spanyol, Russia, Yunani dan
Negara-negara barat cemerlang lainnya. Yang kuncinya ada hanya pada
satu kata yang membuat Negara Jepun itu maju yaitu: membaca.
Tapi kalau bangsa Indonesia yang besar ini kalau membaca hanya dalam
situasi formal saja, kita mungkin masih jauh mengejar kemajuan
bangsa-bangsa yang lain. Dimana, kalau proses membaca dengan metode
paksaan yang sering kita alami di sekolah-sekolah terus di prektekkan
faktanya metode tersebut tidak punya efek kontinunitas yang baik,
pasalanya soul kita sendiri telah didikte dengan kata-kata membaca,
sebaliknya kata “membaca” telah jenuh di mata para siswa. Maka
timbullah ego sendiri yang menyatakan membaca adalah proses menjemukan
dan tidak punya bentuk ke-excited-annya. Membuat opini publik
mengatakan membaca itu dibalas dengan pernyataan sok rajin, cari muka,
di ejek kutu buku dsb. Faktanya orang hanya membaca buku yang sederhana
saja tapi selalu dikonotasikan buku-buku yang yang menjatuhkan harga
diri si pengejek karena cemburu, bukan murni mengejek. Sebaliknya
membaca harus ditanamkan sebagai kegiatan yang akrab bentuknya bukan
sebagai paksaan semata.
Maka dari sirkulasi membaca tersebut manusia telah bisa di katakan
manusia yang sebenarnya apabila telah membaca, apapun genre dan bentuk
buku tersebut, ilmiah, dan non-ilmiah – tentu yang positivisme.
Orang-orang yang membaca yang membuat dirinya membutuhakan membaca
sebagai kebutuhan primer, tak pelak lagi kita katakan sebagai orang
yang berbudaya membaca dan walhasil individu itu bisa membaca budaya.
Apapun budaya tersebut, karena dasar pemikirannya terobesesi pada ilmu
pengetahuan yang mengakibatkan individu teresebut bisa membaca budaya,
budayanya manusia.
Seorang yang telah melek sebagai reader (pembaca), tentunya telah disinggung tadi akan bisa baca budaya. Karena budaya sebagai proses pemikiran manusia bisa merefleksikan si reader tersebut untuk lebih haus lagi terhadap ilmu dan pengetahuan, lebih kritis, dan tentu efek jangka panjangnya membuat seorang reader menjadi orang yang bijak, punya keobjektifan, berjiwa besar, dan akan punya kepekaan terhadap semua hal (sense of act).
Seorang yang telah melek sebagai reader (pembaca), tentunya telah disinggung tadi akan bisa baca budaya. Karena budaya sebagai proses pemikiran manusia bisa merefleksikan si reader tersebut untuk lebih haus lagi terhadap ilmu dan pengetahuan, lebih kritis, dan tentu efek jangka panjangnya membuat seorang reader menjadi orang yang bijak, punya keobjektifan, berjiwa besar, dan akan punya kepekaan terhadap semua hal (sense of act).
Lihatlah contoh orang-orang besar yang punya kebutuhan primer terhadap
membaca: Hatta, Sjahrir, Taufik Ismail, H.A Salim, Rosihan Anwar dll.
Bahkan Rosihan Anwar yang pada usia 80-an tetap memabca buku 2 buku
seminggu. Contoh-contoh orang di atas yang telah mengalami sirkulasi
budaya baca = baca budaya, kesemuanya telah menjadi “orang”, bahkan
orang besar yang sampai pada kaliber internasional.
Tentunya Indonesia sebagai negara yang melimpah SDA nya, butuh sekali kecakapan terhadap SDM yang memadai, maka tidak lain jalan keluarnya yaitu membaca, membaca, dan membaca. Yang orientasinya yaitu membaca menjadi tahu, tahu menjadi paham, paham menjadi kontiniunitas lagi untuk kita membaca buku yang lain.
Tentunya Indonesia sebagai negara yang melimpah SDA nya, butuh sekali kecakapan terhadap SDM yang memadai, maka tidak lain jalan keluarnya yaitu membaca, membaca, dan membaca. Yang orientasinya yaitu membaca menjadi tahu, tahu menjadi paham, paham menjadi kontiniunitas lagi untuk kita membaca buku yang lain.
Percayalah kita kepada orang-orang besar diatas, kalau kita membaca dan
menjelma menjadi seorang reader untuk negara Indonesia yang besar ini
kalau kita efesienkan maka, kita akan maju sebagai negara baru lebih
beradab lagi. Maka dari itu, terus dan ingatlah kata-kata remeh-temeh
yang punya kekuatan makrokosmos ini dihati kita untuk dipraktekkan:
“tiadalah hari tanpa membaca”.
Hendriko Firman, pernah dimuat di koran Singgalang tahun 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar